Kamis, 23 Oktober 2008

Tanda Cinta Buat Emak


Mak, aku tak tahu, apakah aku harus menangis atau tersenyum, melihat engkau terbujur dingin. Nyawa yang selama ini mengaitkan engkau antara dunia fana dan hidup abadi, kini telah sirna. Tubuh kurusmu begitu ringkih menahan beban hidup yang begitu menyakitkan. Tubuhmu akhirnya harus merelakan nyawa satu-satunya yang engkau miliki kembali ke haribaan sang khalik. Mak, mungkinkah engkau merasa lega dengan jemputan malaikat maut yang baru saja engkau terima? Kulihat engkau tersenyum begitu manisnya. Tak secuil pun gambar kesakitan dan ketakutan tergores di pipimu yang keriput. Keikhlasan begitu tergambar dari senyummu yang begitu damai menghadapi sang maut. Dan senyum itu tak pernah aku lihat sepanjang engkau hidup bersamaku, Mak. Aku yakin engkau akan bertemu Tuhan dengan pertemuan yang begitu syahdu. Yah, mungkin perjalanan abadimu kini lebih berarti tinimbang terus menyaksikan hidup yang serba tak menentu.

Mak, manakala kutatap wajahmu yang semakin dingin itu, ada rasa yang entah. Rasa kosong dan hampa yang tiba-tiba menekan dada, nafas, dan otakku. Aku tak tahu, Mak. Mengapa aku tidak menangis seperti layaknya orang-orang yang ditinggal mati oleh kerabatnya. Aku hanya bisa terpaku bisu. Air mata terasa begitu kering. Yang ada hanya duka diri kehilangan orang yang biasa diajak berbagi. Kehilangan orang yang sering menyadarkan aku kala kekufuran menyergap diri.tapi, bukankah tangisku juga tak kan mengubah apa yang telah terjadi. Aku tak ingin menyusahkanmu lagi dengan isak tangis yang hanya basa-basi.

Masih terbayang jelas dalam benakku ,Mak ketika kau tiba-tiba jatuh sakit. Disentri telah menyerangmu. Penyakit itu memang penyakit kampungan kata orang-orang, tapi penyakit itu juga yang mampu menjadi sarana engkau pergi untuk selamanya. Engkau kesakitan dengan sakit yang teramat sangat. Aku tahu itu dari raut mukamu yang sulit dilukiskan, meskipun engkau berusaha untuk menyembunyikan sakit itu dariku. Mak, engkau memang perempuan luar biasa. Tak pernah sekalipun engkau mengatakan sakit meskipun akhirnya engkau kalah oleh sakit itu. Engkau nikmati semua derita yang menimpa dengan kenikmatan yang sebenarnya.

Maaf, Mak. Kalau saat itu aku tak dapat membawamu berobat ke dokter, tabib, atau dukun. Engkau pasti tahu betul karena untuk berobat ke sana juga butuh biaya. Sementara penghasilanku dengan mengumpulkan rongsokan tak pernah bisa lebih dari lima ribu perak sehari. Itupun kalau aku sedang beruntung memperoleh barang-barang bekas. Maafkan anakmu,Mak, kalau aku hanya bisa membelikanmu pil disentri seharga enam ribu perak sebutir. Itupun dengan pengorbanan cucu dan menantumu. Mereka terpaksa puasa, Mak, agar aku dapat membelikan pil itu untukmu. Namun panggilan Tuhan ternyata lebih dulu menjemputmu daripada usahaku membeli pil itu di kota kecamatan. Pil itu kini masih aku genggam, tapi sudah tak berguna lagi untukmu. Engkau sudah tak memerlukannya lagi kan,Mak. Tapi tak mengapa, semoga sebutir pil ini bisa menunjukkan tanda baktiku padamu. Ya, hanya itulah yang bisa aku berikan padamu,Mak.

Mak, maafkan aku. Sebagai anak aku mungkin tak bisa membahagiakanmu di dunia. Selama engkau tinggal bersamaku, tak sekalipun engkau kuberikan kebahagiaan. Kekurangan adalah sahabat kita. Kalau dalam sehari kita tidak merasa kekurangan rasanya kok aneh. Kita memeng orang yang hebat,Mak. Kita cukup makan sekali dalam sehari sementara orang-orang harus tiga kali. Kita juga bisa bertahan hidup tanpa listrik, televisi, atau hiburan lain sementara orang ribut kalau benda-benda itu tidak tersedia di rumah-rumah mereka. Tapi kita tak pernah bersedih dan berduka. Itu anjuranmu kan, Mak. Masih jelas dalam kepalaku engkau pernah berkata

“Nardi, jadi orang itu harus sabar, menerima dengan syukur. Tidak usah iri dengan rejeki tetangga. Kita boleh saja tidak punya apa-apa, tapi jangan harga diri kita engkau gadaikan untuk keperluan dunia” begitu katamu, Mak sambil menjemur gaplek di depan gubuk kita.

Aku juga masih ingat saat engkau memarahiku saat aku mencoba protes kepada kepala desa karena kita tidak terdaftar sebagai penerima BLT.

“Nardi, gak usah minta-minta sumbangan kepada orang. Jangan sekali-kali kamu berharap pada orang. Ingat, Nardi, kita sudah miskin, tapi jangan lantas kita tidak punya apa-apa. kita masih punya harga diri, akankah engkau gadaikan harga dirimu itu dengan uang seratus ribu perbulan? Malu Nar,malu. Emakmu malu kalau anaknya harus ribut untuk menjadi pengemis pada pemerintah.” begitu katamu saat itu. Kemarahan dan kedukaan tergambar jelas dalam raut mukamu yang kelam.

tapi ,Mak kita tidak makan dengan harga diri. Yang kita makan nasi, dan untuk nasi kita butuh uang. Bukankah BLT itu diperuntukan untuk orang-orang miskin,Mak? Kita ini miskin, bahkan barangkali termiskin sekecamatan. Tapi mengapa kita tidak menerima bantuan itu. Apa mereka buta? Atau kita dianggap tidak ada?” protesku mendengar nasihatmu.

Jangan suka menghina diri sendiri Nardi. Kita memang miskin, tapi kita masih bias bekerja. Kalau butuh uang ya usaha.Bukan memint-minta yang bukan jatah kita” lanjutmu untuk mencegah langkahku saat itu. Gaplek yang saat itu sedang kau jemur, terus tergenggam erat di tangan. Gemetar tanganmu menahan gejolak dalam dadamu saat itu.

“Mak, keluarga pak lurah yang sudah mampu saja mendapatkan BLT, mengapa kita yang kesusahan malah tidak dapat,Mak. Itu namanya tidak adil” kataku mulai melemah melihat amarahmu yang terpendam.

“Nardi, kalau kamu mengharap keadilan di dunia ini, sama saja kamu berharap dimasukkan kembali ke perut emakmu. Apakah itu mungkin?” Katamu ,Mak sambil tertatih meninggalkanku sendiri.

Aku terhenyak mendengar perkataanmu. Aku tersadar, betapa aku telah keliru mengharap pada manusia. Maaf ,Mak kalau saat itu aku terus membantah perkataanmu.

☻☺☻☺☻

Mak, maaf. Kalau sejak engkau menghembuskan nafasmu yang terakhir, baru ada dua orang yang datang. Jangan bersedih ,Mak. Mungkin mereka sibuk urusan dunia mereka atau mereka khawatir gubuk kita akan penuh sesak dan akhirnya roboh apabila mereka datang. Mereka telah berbaik hati untuk tidak membuat gubuk kita roboh. Lagi pula apa yang dapat mereka peroleh dari kta ya, Mak?

Mak sabar ya, untuk segera berangkat ke alam keabadianmu. Aku masih menunggu satu orang lagi untuk dimintai pertolongan mengangkatkan keranda jenazahmu. Mudah-mudahan mereka mau ya, Mak. Tapi kalaupun mereka tidak mau, mak aku pun sanggup menggendongmu ke kuburan seorang diri. Toh berat tubuhmu tidak terlalu berat dan juga kuburan untukmu yang telah aku siapkan juga tidak jauh dari gubuk kita.

O, iya maaf ,Mak. Kuburanmu terpaksa tidak di pemakaman umum. Uangku tidak cukup lagi untuk membayar ongkos penguburan di pemakaman umum. uangku sudah habis buat membeli pil seharga enam ribu rupiah sebutir yang kini berada di kantong kolorku dan secarik kain kafan kasar untuk pakaian terakhirmu. Tak ada biaya lagi untuk menguburkanmu di tanah pemakaman umum karena untuk menguburkan di situ harus mengeluarkan beberapa ratus ribu rupiah. Kalau aku punya uang sebanyak itu Mak tentunya aku tak cuma membelikanmu pil disentri yang seharga enam ribu perak tapi aku pasti akan membawamu berobat ke mantri atau dokter sehingga engkau pun mungkin dapat tertolong. Dunia memang aneh, Mak sampai-sampai untuk mati saja harus jadi orang kaya. Lah, kita yang miskin memang harusnya tidak dilahirkan ya, Mak. Tapi mengapa Tuhan menciptakan orang miskin seperti kita? Berarti kita sebenarnya ada manfaatnya juga di dunia. Ah, bodo amat lah, dengan orang lain yang menganggap kita tak berarti. Yang penting Tuhan menganggap kita berarti.

Mak, Kuburanmu aku buatkan di samping gubuk kita, di tempat biasa engkau mengupas singkong yang akan engkau buat menjadi gaplek. Mudah-mudahan engkau senang. Bukankah tempat itu tidak asing lagi buatmu, Mak? Ambil hikmahnya saja ya,Mak. Dengan kuburanmu yang dekat dengan rumah, aku bisa kapan saja berkunjung ke rumahmu yang baru. Aku yakin, rumahmu yang baru akan lebih besar daripada gubuk kita. Lebih luas dan lebih indah. Bukankah begitu, Mak kata pak ustad yang sering mengisi pengajian di masjid, meskipun kita hanya mendengar dari balik tembok keliling masjid yang kokoh itu. Meskipun yang tampak hanya sepetak tanah yang ditanami berbagai macam palawija tanamanmu. Singkong, ketela rambat, talas, bayam, dan cabai yang kautanam masih tetap kubiarkan agar engkau tidak merasa asing. Lagipula itu adalah warisanmu yang harus selalu kurawat demi kesejahteraan anak dan cucumu.

Hari semakin sore, mendung begitu tebal menyelimuti angkasa. Hujan belum turun, hanya sesekali kilat di langit atas menampakkan cahaya. Pelayat yang telah datang, Paijo dan Karmin, sudah pulang. Tak ada lagi orang yang datang untuk membantu menguburkan mak Pariyem. Mayat mak Pariyem sudah dimandikan oleh Narto anak semata wayangnya dibantu oleh istri dan anaknya yang drop out dari kelas lima sekolah dasar. Alam tampak bersedih. Angin semilir seolah mengajak Narto anaknya untuk segera menguburkan mayat ibunya. Orang-orang kampung sudah tidak dapat diandalkan. Mereka lebih tertarik berbicara tentang politik, uang, dan apa yang akan mereka peroleh dari tenaga yang mereka keluarkan.

Dengan khusuk Narto memimpin sholat mayat untuk emaknya diikuti lastri, istrinya, dan Jamal ,anaknya, dengan bacaan sebisanya. Dia memang tak pernah belajar agama secara khusus. Guru agamanya hanyalah bapaknya dan ibunya yang semuanya kini sudah tiada. Sesekali memang Narto mengikuti pengajian di masjid tetapi hanya di balik masjid. Dia sadar betul tubuh dan bajunya yang kotor tak layak untuk masuk ke masjid yang suci itu. Di samping itu, trauma masa kecilnya diusir dari masjid oleh pak ustad saat ia kecil gara-gara ia mau belajar sholat tetapi badan kotor dan bau cukup membuatnya jera untuk masuk rumah Tuhan yang suci itu. Ia tak mendendam. Kesadaran akan dirinyalah yang akhirnya menguasai hari-harinya untuk jauh dari tempat suci itu. Sebagai seorang muslim, narto paham betul bahwa mengurus jenazah merupakan fardu kifayah dimana apabila sudah ada satu orang yang mengurusnya maka gugurlah kewajiban bagi muslim yang lainnya. Kini dia hanya ingin menggugurkan kewajiban muslim di sekitar rumahnya. Dia juga malu apabila nanti arwah ibunya bertemu malaikat dan ditanya tentang saudara muslimnya. Apa yang harus emak katakan? Memang kami menganganggap semua muslim adalah saudara kami, tapi apakah mereka mau mengakui kami sebagai saudara mereka.

Daiangkatnya tubuh ringkih emaknya yang sudah tak bernyawa dari keranda bambu buatannya sendiri. Narto masih kuat untuk mengangkat tubuh ibunya yang hanya memiliki berat tiga puluh kilogram. Dilangkahkannya kakinya pelan. Tubuh ibunya terasa begitu melekat pada tubuhnya yang semakin lemah karena puasa. Pelan tapi pasti. Tiba-tiba ada rasa haru yang menyergap relung hatinya. Dadanya penuh dengan rasa itu. Mata mulai memanas, dan akhirnya sebulir kristal air matanya turun berlahan melewati kelopak mata dan meluncur melalui pipinya yang hitam. Butir air mata itu terus meluncur dan berhenti di dagunya yang kasar. Ingin ia mengusap butir air itu, tapi ia tak memiliki kekuasan. Tangannya tengah sibuk menggendong tubuh emaknya. Dalam hatinya Narto berdoa, “ya, Tuhan. Jangan biarkan air mata ku jatuh di kain kafan emakku. Biarkan kain itu bersih karena kain itu merupakan kain satu-satunya yang akan emakku pakai untuk menghadap-Mu.” Lalu diusapkan janggutnya pada lengan kanannya untuk menghilangkan air mata Narto sambil terus berjalan menuju pemakaman untuk emaknya di belakang gubuk reyot mereka. Narto berhenti sesaat. Diamatinya tubuh emaknya dalam gendongannya, memastikan air matanya tak mengotori kain kafan emaknya. Setelah diyakininya betul kain kafan emaknya masih seperti semula, ia melanjutkan perjalanannya ke makam ibunya yang tinggal beberapa langkah.

Sampailah rombongan pengantar jenazah itu sampai di makam ibunya. Ditatapnya lubang kubur untuk ibunya yang telah ia gali tadi pagi. Narto tercenung sesaat. Siapa nanti yang akan turun di bawah lubang kubur dan siap pula yang akan memegangkan jenazah emaknya.Betapa akan tertolongnya dia apabila kang paijo atau kang Karmin masih di sini, bisik hati Narto Namun, segera ditepisnya pikiran itu jauh-jauh. Maaf , Mak aku telah mengeluh meski dalam hati. Engkau pasti tidak suka kalau eku mengeluh, apalagi saat mengantarkanmu untuk terakhir kalinya. Dipanggilnya istri dan anaknya untuk membopong jenazah emaknya, kemudian Narto segera turun masuk ke lubang kubur emaknya. Beberapa saat kemudian selesailah prosesi pemakaman sederhana seorang perempuan sederhan dengan pola pikir sederhan dan acara sederhana. Narto dan keluarganya segera meninggalkan kuburan emaknya. “Selamat jalan, Mak. Hidupmu kini lebih indah dari hidupmu yang lalu. Sampaikan rindu kami untuk menyusulmu pada, Tuhan agar kami bisa bertemu dengan keadilan yang hakiki”


(Mengenang Ibunda tercinta. Terima kasih bunda, telah engkau tunjukkan indahnya dunia dengan memberi aku kesempatan menikmati getirnya dunia yang sekaligus manis)


Tidak ada komentar: